YANG TAK TERLUPAKAN
Naskah: Ivana/Sutar
Foto: Bambang/Ari T/Hendrik/Dharma Iskandar
Tak mudah bagi Tzu Chi untuk menggandeng relawan yang
bersedia terjun langsung memberikan bantuan di Aceh. Bagi mereka yang
bersedia untuk menginjak Tanah Rencong dan bertatap muka langsung dengan
para korban dalam menyalurkan bantuan, tentu masing-masing memiliki kenangan
unik yang pasti akan selalu mereka ingat sepanjang hidup.
Bimo Prakoso (relawan dari Grup Sinar Mas)
Saya beberapa kali bolak-balik ke Meulaboh, kalau ditotal sekitar 2 bulan.
Menurut saya, setidaknya ada 7 hal yang saya catat:
• Nggak usah mikir, “Di sana, aku nanti mati!” Kita
pasti selamat karena kita ke sana untuk menolong orang.
• Saya merasa Master Cheng Yen mengikuti kita terus, membimbing,
dan mengawasi. Beliau seperti mengikuti terus, terutama ketika sedang
ada kesulitan. Seolah-olah beliau tidur dengan kami di tenda.
• Dalam menjalankan tugas, kita harus tulus dan terus mengikuti
arahan Master Cheng Yen.
• Kita harus selalu fokus pada pekerjaan. Banyak tangan yang disatukan
pasti hasilnya lebih kuat.
• Semua yang sudah diperoleh harus dibina, jangan ditinggalkan.
• Dalam satu kegiatan harus ada evaluasi dan konsolidasi.
• Kita juga harus ikut merasakan apa yang dirasakan oleh para pengungsi.
Dengan tidur di tenda, kita akan merasakan apa yang mereka rasakan.
Yap Pit-lu (Relawan Tzu Chi Jakarta)
Sejak terjadi bencana Aceh dan Tzu Chi mengirim bantuan ke sana, sempat
lebih banyak waktu saya habiskan di Aceh daripada di rumah. Untunglah
lama-kelamaan keluarga saya bisa menerima dan mengerti. Saya sudah 2-3
kali bolak-balik, ke Meulaboh, Medan, juga Banda Aceh.
Kalau tidak pergi sendiri ke sana, mungkin kita tidak akan bisa benar-benar
merasakan bagaimana penderitaan korban. Melihat pengungsi yang tinggal
di tenda yang pendek-pendek, kalau hujan, air masuk ke tenda. Kalau lagi
panas, minta ampun, saya jadi merasa entah bagaimana hidup mereka.
Selama di Aceh saya mengerjakan apa saja yang bisa dibantu. Kebanyakan
pendampingan untuk pengungsi. Tadinya sebelum berangkat saya ragu-ragu,
apa saya bisa berbuat sesuatu untuk bantu mereka, tapi ternyata ada pengungsi
yang bilang pada saya, “Terima kasih ibu sudah mau datang. Apa-apa
yang ibu bawa tidaklah terlalu penting, ibu datang saja kami sudah senang.”
Dari situ saya jadi sadar, ternyata kehadiran dan senyum kita saja sudah
bisa membantu mereka.
Setelah kepergian yang pertama, ada perasaan takut untuk kembali, karena
saya jadi tertekan sendiri oleh ketidakmampuan saya membantu begitu banyak
orang yang menderita. Tapi saat kepergian yang kedua, saya sangat senang
melihat perkembangan yang terjadi di sana. Ada begitu banyak NGO dan LSM
dari dalam dan luar negeri yang sama-sama membantu Aceh. Waktu itu sepertinya
kita bisa melihat harapan tumbuh di sana.
|
Pompy Junus (Karyawan Tzu Chi)
Aku baru saja pulang dari Malaysia untuk liburan tahun baru Imlek. Koper
belum lagi dibongkar, tiba-tiba datang telpon dari Djumarno (kepala sekretariat
Tzu Chi waktu itu-red), minta saya siap-siap ke Meulaboh. Apa?! Saya kaget
juga. Tapi sebetulnya memang ada keinginan untuk pergi ke Aceh. Setelah
mendengar banyak cerita orang tentang bencana itu, rasanya saya ingin
ke sana untuk melihat langsung.
Waktu melihat tempat yang kena bencana, saya benar-benar terpana. Saya
sampai tidak tahu harus berkata apa. Apakah saya harus bilang ‘Thanks
God ini tidak terjadi di Jakarta’ ataukah ‘Why God ini semua
terjadi’? Ternyata nyawa itu sangat rapuh, padahal setiap hari manusia
berjuang untuk mempertahankan hidupnya, tapi dalam sekejap itu semua bisa
hilang.
Selama di sana, aku tetap pergi ke gereja setiap Minggu. Sebetulnya itu
adalah gereja darurat yang memakai lantai dua sebuah rumah yang sempat
diterjang tsunami. Yang ikut kebaktian sekitar 15-16 orang.
Persis waktu aku ulang tahun yang ke-23 juga masih di sana, malahan hari
itu bantu-bantu bagi beras untuk pengungsi. Ulang tahun kali ini memang
agak berbeda, tidak ada perayaan atau ucapan selamat yang meriah seperti
biasanya. Tapi ada kesan tersendiri. Biasanya waktu ultah aku yang menerima
kebaikan orang lain, seperti kado, ucapan, atau yang lainnya, tapi ultah
kali ini sebaliknya malah aku bisa berbuat baik untuk orang lain.
Endang Kemal (Relawan Tzu Chi Medan)
|
Saya pergi ke Meulaboh sekitar 3 minggu. Selain saya, relawan dari kantor
penghubung Medan yang berangkat hanya 2 orang, karena waktu itu masih
banyak berita simpang siur tentang Aceh yang menyebabkan orang takut ke
sana, selain itu karena sudah menjelang Imlek, rata-rata orang ingin berkumpul
dengan keluarganya.
Saya melewatkan Imlek tahun ini di Teunom. Kami berombongan naik heli
Perancis ke sana untuk membagi paket sembako. Desa yang kita datangi tidak
ada listrik, sehingga jika sudah malam, semuanya dilakukan dalam kegelapan,
mandi juga harus gelap-gelap. Persis sha-cap meh (malam tanggal 30, menjelang
tahun baru Imlek), para relawan makan malam bersama di rumah seorang warga.
Imlek ini sangat berkesan untuk saya, meskipun antara kami tidak ada hubungan
kekerabatan, tapi rasanya benar-benar seperti satu keluarga.
Ditinggal selama 3 minggu, anak-anak saya sempat ngambek, karena waktu
Imlek, ibu tidak ada (sudah meninggal), sekarang ayah juga tidak di tempat.
Tapi saya sering memberi penjelasan pada mereka tentang apa yang saya
kerjakan di Tzu Chi.
Saya merasa terpanggil untuk pergi ke Aceh. Saya berpikir, selama 40 tahun
ini, yang saya pikirkan melulu hanya 1 keluarga kecil saya, tanpa memikirkan
keluarga-keluarga yang lain. Sekarang datang kesempatan untuk berbuat
bagi keluarga-keluarga di luar keluarga kecil saya. Walaupun warga di
Meulaboh dan Teunom sedang dalam kondisi yang memprihatinkan dan pedih,
tapi mereka tetap punya semangat untuk melalui masa-masa ini. Tugas kita
adalah berada di sana, dan ikut memberikan dorongan semangat pada mereka.
|